Balada Pasal 31 UUD 1945, Tentang Pendidikan

Sabtu, 06 Februari 2010


Oleh: Mahmuddin Ridlo

Planning kamu besok, mau ngelanjutin ke mana, De?” tanya Dara disuatu ketika di kantin sekolah.

“Eeee, belum tahu. Dar, kayaknya sudah tak ada harapan lagi buat ngelanjutin sekolah…..,” jawab Dea, siswi SMP kelas tiga dengan nada serius.

“Haa, kok bisa! Setidaknya kamu udah ngomong kan sama ortu?’ Dara tercekat dengan jawaban sobat karibnya itu. Lama Dea bergeming, tak sampai hati jika sahabat karibnya mendengarkan ucapan duka akan perpisahan mereka untuk selamanya.

“De, kenapa? Ada apa gerangan. Ehm, kamu lagi punya problem, ya? Please deh, jangan disimpan sendiri, bicara aja ma aku, mungkin bisa ngebantu ,”

Namun, Dea tetap bergeming, mulutnya susah sekali diucapkan. “Kumohon kamu tidak perih mendengarkan pernyataanku ini, Dar,” Susana yang tadinya ramai, kini menjadi sepi dipenuhi kekhawatiran di hati Dara.

“Sebenarnya, ini bukan keinginanku, atau bahkan cita-citaku. Aku akan membantu Ibu menjahit di rumah saja, Dar. Dan, sebelum itu, aku harus kursus jahit dulu sama Ibu……….,”

Belum selesai Dea ngomong, Dara memutus pembicaraan ,”Apa? Darimana kamu mendapatkan keinginan buruk itu, dan bagaimana buat masa depanmu nanti? Lihat De, teman-teman kita yang ada di kolong jembatan, dipinggir jalan, di perempatan jalan, mereka mencoba terus merajut mimpinya supaya bisa memakai seragam sekolah, terus duduk masnis mendengarkan Pak Guru dan Bu Guru menjelaskan pelajaran di sekolah,” ucap Dara penuh perhatian pada Dea.

“Sudahlah Dar, kamu…,” teeet, teeet, teeet, tiba-tiba bel masuk menjerit. Dea dan Dara bersama-sama siswa yang lain berhamburan masuk ke dalam kelasnya msaing-masing.

***

Mulai saat itu, ada yang berubah di antara persaudaraan Dea dan Dara. Berkali-kali Dara mengalihkan topik pembicaraan mereka, namun Dea selalu diam, jika ditanya kenapa,? Baru gak enak badan, selalu saja Dea menjawab, nggak apa-apa kok.

Usut punya usut. Kerena tak ada perubahan di antara mereka, Dara ingin tahu secara langsung ada apa gerangan yang terjadi dalam diri Dea. Mungkin saja bias mengurangi sikap Dea akhir-akhir ini yang membuat persaudaraan mereka renggang.

Di saat pagi yang cerah. Mula-mula sang surya memberikan hangatnya semangat menyongsong esok yang cerah dari ufuk timur. Tampak seorang siswi dengan muka lusuh berjalan gontai di trotoar sekolah. Sementara itu, dari belakang tiba-tiba ada temannya mengejar.

“De, good morning. Tumben De, berangkatnya kok pagi-pagi amat. Biasanya kita kan kita kompak dan langganan telat. Sampi-sampai Pak Wito, si Pak Satpam itu lelah menghukum kita,” sapa Dara dengan dengusan yang masih terengah-engah, habis lari kencang.

Dea yang tadinya kaget, langsung saja kembali ke tatapan semula. Lurus kedepan, ”Pagi….,’

Tampaknya seisi sekolah baru saja dihebohkan dengan suatu hal yang kelihatannya baru saja ditempel di papan pengumuman.

Di sana terpampag untaian kata-kata. ’Bagi para siswa kelas III yang namanya tercantum dalam tabel di atas, diharapkan secepatnya melunasi tanggungan SPP, sebelum perpisahan'.

Glek….., seolah-olah syaraf tenggorokan Dea tergelak oleh pengumuman itu. Dengan teliti, Dea mengurutkan gerak matanya dari atas ke bawah. Tubuhnya panas, dicampur kekhawatiran. Matanya mendelik ke arah tabel yang bawah sendiri. Di situlah nama Dea tercantum, Dea Ayu Ningsih.

Melihat temannya yang tak kondisional. Dara mengayunkan langkah ke belakang sambil menggandeng lengannya menuju bangku taman sekolah.

Wajah Dea kembali kuyu, seperti tak punyA semangat, bak bunga mawar yang lama tak diairi.

Dara bingung mau bicara apa, jika nanti keceplosan nyakitin hati Dea.

“Kamu lagi bingung ya, De. Eeeeee, aku turut sedih merasakan apa yang kamu rasakan saat ini,” mula-mula Dara membuka pembicaraan.

Mutiara bening mulai meleleh dari kedua kelopak mata Dea. Menetes dan jatuh ke lembah pipi Dea yang coklat.

“Dar, jadi putri cantik yang kaya seperti kamu , enak ya? Semuanya apa saja keturutan. Beda denganku. Entahlah, karena Tuhan nggak adil ma aku atau nasibku yang mlang ini………..,” ucap Dea sambil mengusap air maanya.

“Hus, gak baik berkata seperti itu, De,”

“Baik kamu dan aku, sama saja kan kodratnya? Kamu terlahir seperti halnya manusia biasa, dan aku pun juga manusia biasa. Rezeki atau yang lainnya itu hanya titipan Tuhan. Dan, tergantung pada diri kita saja, bagaimana usaha mendapatkan nya,” nasehat Dara. Sebenarnya Dara tak tega berkata seperti itu.

“Iyakan? Kamu Dar, memang beruntung sekali punya Ayah dan Ibu yang seperti itu. Sedangkan aku… Aku hanya orang miskin yang yatim,” bantah Dea. Mulutnya sudah keceplosan mengatakan apa yang ia rasakan saati ini. Sudah tak bisa ditahan lagi.

“Sudahlah De, aku nggak mau mengerti, apa nasibku yang mujur atau tidak, itu hanya sementara kaliiiiiii, bisa saja satu tahun ke depan nasibku berbalik seperti kamu. Jika kita berusaha dan berikhtiar, bisa saja nasib kita dapat berubah menjadi lebih baik.” Dara langsung memeluk sobatnya yang ternyata masih setia padanya.

Dalam dekapan penuh kasih sayang, Dea bersyukur punya sahabat yang baik seperti Dara. “Sungguh Agung ciptan-Mu Tuhan, meng-ada-kan insan yang mulia hatinya, seperti Dara,” puji Dea.

Dengan berbincangdengan Dea, setidaknya Dara sudah mengerti lebih dulu, kenapa ia akhir-akhir ini berubah? Walapun Dara pun untuk sementara waktu, Ia belum tahu betul solusinya.

Ia tahu bahwa Dea sedang bingung mencari uang untuk membiayai semua tanggungan Dea yang disebutkan di tabel sekolah tadi.

***

Perpisahan sekolah tinggal dua hari lagi. Dara, dan siswa yang lainnya mulai deg-degan dicampur sedih, duka, cita, senang dan masih banyak lagi perasaan yang mereka rasakan. Namun, lain dengan Dara. Tampaknya IA sedang memikirkan bagaimana caranya membantu Dea.

“Kamu tak harus mengeluarkan seluruh uang di dompetmu. Bisa saja dengan cara lain kan? Kenapa tidak, misalnya dengan melakukan solidaritas, mengumpulkan iuran dari teman-temanmu,” usul Pak Gino, Guru BP dengan bijaksana, saat Dara meminta masukan dari Pak Gino.

Dara hanya mengangguk dalam artian faham.

“Terus, nanti akan kalau bisa, Bapak usahakan untuk mengajukan permohonan dana kepada kepala sekolah untuk siswa yang kurang mampu dalam ajaran akhir tahun ini,”

“Terima kasih banyak , Pak,” kata Dara.

Dara merasa itulah cara yang tepat di saat kondisi seperti ini. Tanpa diketahui Dea, Dara langsung memulai inisiatifnya. Mula-mula ia berorasi di depan kelas, “Asalamualakum, teman-teman, saya mohon perhatiannya untuk memberikan waktu untuk saya bicara sebentar di depan kelas,”

Seketika anak-anak yang pada rame, diam. Sepertinya mereka sangat menghargai Dara yang terkenal dengan murah hatinya itu.

“Teman-temanku, ini, langsung saja, tanpa kita ketahui dan sadari, salah satu dari teman kita yang tidak mampu sedang mengalami kesusahan untuk membiayai tanggungan diakgir tahun ajaran sekarang. So, saya mohon uluran tangan teman-teman untuk memberikan sepeser uang sakunya dengan seikhlas untuk solidaritas kita kepada teman kita tadi,” demikian kata Dara dengan lembutnya.

Karena anak-anak merasa duka atas pernyataan Dara, mereka lansung memberikan bantuannya. Mereka sudah yakin dengan apa yang dikatakan Dara barusan. Dan, mereka yakin jika teman yang sedang kesusahan tersebut benar-benar mengalami kesusahan.

Tidak hanya di kelasnya saja. Di kelas lain pun Dara menerangkan akan hal yang penting tersebut. Hasilnya sangat memuaskan, hampir semuanya mau merngerti dan kembali memeberikan sumbangannya.

***

Malamnya, Dara mengatakan semua penjelasan tentang aksi solidaritasnya tadi siang di sekolah.

Dengan bangga, Ibu Dara berkata, “Bagus itu, Nak. Ternyata kamu sudah bisa menkonkretkan sikap tengang rasa pada teman yang sedang membutuhkan uluran tangan.”

“Nah, terus bagaimana denganmu, Nak?” tanya Ibu Dara yang sedang menemani Ayah habis pulang dari kerja.

“Itu dia, Bu. Dara ingin meminta izin pada Ibu dan Bapak untuk mengambil sebagian uang tabungan Dara di Bank,” kata Dara lirih.

“Untuk teman boleh yang penting benar dan bukan untuk kepentingan sendiri, awas ya,” ucap Ibu memperingatkan dengan sesdikit bercanda. Ayah dan Ibu pun mengangguk. Itu atinya mereka mempersilahkan.

***

Saat-saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Tinggal menghitung dengan jari, berapa jam lagi.

Di saat duka dan suka cita dilakukan bersama, kinitelah datang waktunya untuk cberpisah. Dea masih dalam kekhawatir, jika nantinya ia tidak boleh meniggalkan sekolah dan akan dituntut, karena bunya sedang tidak punya sepeser uang pun dari hasil kerjanya menjahit, mungkin sedang kosong

“Ti, ini titipan ucapan selamat, dan atas semua siswa yag lulus dengan tanpa biaya apapun. karena kekurangannya sudah terbayarkan oleh uang kumpulan siswa kelas tiga,” bisik Dara pada Eti yang akan jadi MC diacara perpisahan nanti.

Dara sengaja duduk bersampingan dengan Dea. Mereka hanya sebentar ngobrol, lalu khusuk mengikuti jalannya acara perpisahan.

Acaranya berlangsung meriah, banyak hiburan yang ditampilkan anak kelas tiga sendiri. Dan, tibalah pada acara sambutan. sambutan pertama kali, adalah Bapak Gino, sebagai Guru BP.

Ditengah pidatonya, beliau berkata, “……dan kami memberikan beasiswa bagi yang membutuhkan, yaitu ada satu orang dari kelas 3C, kami ucapkan selamata kepadanya…….,”

Mendengar penjelasan dari Pak Gino tadi, Dea menjadi setengah tak percaya.

“Selamat, yaaa…………..,” ucapan Dara turut senang sambil mengulurkan tangan.

“Ooooooo…, ini pasti kamu kan yang rencanain. Makasih banget ya, Aku nggak tahu harus bagaimana membalas budimu?” kata Dea. Sekali lagi, ia merasa beruntung sekali punya teman sebaik Dea yang pengertian.

Dari atas pangung. Eti, sang MC berkata, “Kami dari kelas tiga pun setuju untuk memberikannya bebrapa uanguntuk meringankanya,”

Spontan, Dea tambah girang. Tak salah lagi, ini semua strateginya Dara.

Uang itu langung digunakan Dara untuk melunasi tanggungannya.

Sambutan-sambutan telah diakhri oleh Bapak Adnan, kepala sekolah. Disela-sela pidatonya, beliau memberi tahukan tentag sesuatu hal yang tampaknya sangat penting, “Mari kita dorong terus-menerus putra-putri kita, supaya semangat beajar hingga pendidikan yang setinggi-tingginya setingi-ringginya. Untuk masalah dananya tak perlu kuatir, karena pemerintah sudah berjanji dalam UUD 1945 pasal 31 yang bunyinya kurang lebih begini, ayat 1: ‘Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan’. Ayat 2: ‘Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiyainya’.

***

Satu bulan kemudian, Dara dan Dea diterima di SMA favorit yang sama. Walapun jauh, namun Dara yang baik hati bersedia membonceng Dea. Tak jarang pula Dea yang bergantian membonceng Dara.

Namun, sepertinya ada pihak yang diberatkan. Dengan sekolahnya Dea di SMA favorit yang biayaanya lumayan mahal itu, membuat kelarga Dea harus bekerja keras untuk mendapatkan uang. Lalu, bagaimana tentang UUD 1945 tentang pendidikan pasal 31 itu? Ternyata, tidak ada apa-apanya bagi Dea. Walapun mereka sudah sering bertanya akan hal itu pada sekolah dan pengumuman, namun hasilnya selalu nihil. Apa boleh buat semua harus ditanggung keluaga Dea sendiri, tanpa bantuan pihak lain.

***

Pada suatu saat, Dara dan Dea berangkat sekolah melewati kampung yang memisahkan kota mereka dengan kota lain tempat sekolah mereka. Udara di kampung sangat sejuk, begitu pula pemandangannya, sangat asri. Sreeeeeeep, udaranya cocok buat terapi kesehatan. Dari pada di kota yang bising dan kumuh itu.

Tiba-tiba saja ada sesuatu padangan yang bagi Dea tak kuasa Ia melihatnya. Ia reflek saja lihat seorang bocah permapuan, mungkinberumuran dua belas tahunan tampaknya sedang menimba sumur. Dalam Dea bertanya pad adirinya sendiri, “Mengapa ia tidak sekolah?”

Ada apa, De?” Tanya Dara seketika melihat temannya yang aneh.

Dea tak sadarkan diri dan terus memandangi bocah tadi dengan iba.

Sesampainya disekolah, Dea menceritakan semua kejadian selama di perjalanan. Ya, Dara Cuma berpendapat , bahwa manusia itu bermacam-macam. MASih banyak lagi orang-orang kampung yng milih kerja ari pada belajar di sekolah, bisa saja itu sudah menjadi tradisi nenka moyang yang tak pernah mengajarkan mereka belajar setinggi-tingginya.

***

Pada hari yang kedua, Dara gantian yang lihat bocah yang dimaksud Dea kemarin. Kbeletulan hatri itu gantian Dea yang boncengin jadi nggak sempat lihat lagi yan ia lihat kemarin.

Begitu melihat bocah itu, ia tak menyangka. Mengapa IA tidak sekolah? Dan, ketika Dara melongok ke bocah tadi, sepertinya bocah itu juga melihat diri Dara dengan pandanganang tak jauh dari lamunannya. Mungkin bocah itu melamuan apa, ketika melihat diri Dara yang rapi dan anggun dengan pakaian seragamnya itu.

“Betulak, aku nggak slah lagi. Kasihan sekali Ia. Siapa sih orang tuanya, pastinya tidak punya hati pada ananknya yang jelas-jelas pingin sekolah itu. Dasar……….,” Dea mencak-mencak

“Sudah-sudah nggak usah dipikirkan, nggak baik ngomong tenrtahg orang lain yang kita sendiri belum tahu kebenarannya,” nasehat Dara masih berfikir tentang bocah tadi.

“Gini aja bagaimana kalu kita besok datangain ke rumahnya. Terus kita tanyain semuanya, setuju?” tanya Dara memeneri usul.

“Ehm…..,” jawab Dea singkat.

***

Esok yang cerah tak sam dengan kondisi makhluk dimuka bumi. Sepertinya masnuisa masih bermalas-malasan bangun dan bekerja, dan masih enak-enakan di alam mimpi. Eh emangnya hari apa sekarang? iya, sekarangkan hari minggu.

Sesuai dengan janji Dara mendatangi Dea dengan maksud yang merka bicarakan kemarin di sekolah.

“Ngapain kalian ke sini? Bukannya kalian sekolah,”tanya bocah tadi dengan beringas.

Muka Dara dan Dea menjadi dingin. Mereka maklum, katanya bocah itu mengalami trauma besar sewaktu SD-nya. “Nggak kok Dek, hari ini kan minggu jadi sekolah kami libur, kami cuma mau bilang sebentar. Mulai kapan adek putus sekolah, dan karena apa?” Tanya Dara dengan lagak detektif.

“Sudah lama, kok. Satu tahun lalu, karena ayah meninggal dan kebutuhan kami yang tak sedikit. Maka, saya memutuskan untuk mogol sekolah,” suara bocah itu mulai pelan.

“Oh ya, sapa nama adik?” kembali Dara bertanya.

“Minah………..,” jawab bocah yang bernama Minah itu ketus. Anaknya baik, sopan, lugu, dan enak di ajak ngobrol.

“Mbak, silahkakn diminum, saya mau tinggal sebentar ke pasar,” sapa Ibu Minah.

Teh panas yang ada di depan Dara dan Dea mulai dingin. Tak bermaksud puasa, cuma mereka yang sungkan aja, nggak di minum.

“Terus, sebenarnya Adek masih mau sekolah nggak, menurut Adek, lho?” lanjut Dea berbincang dengan Minah yang tampaknya mulai akrab.

“Sebenarnya saya masih ingin. Namun, sudah tak ada harapan lagi. Dan, kata emak, sebentar lagi Ia mau mendonorkan ginjalnya kepada seseorang yang kaya, buat biaya sekolah,” kata Minah terus terang.

“Ya Tuhan, apa benar yang dilakukan emakmu itu?” kata Dara tergagap dengan pernyataan Minah yang ini. Minah pun mengangguk.

Kok ada manusia seperti Minah di dunia ini masih sabar dengan segala penderitaan ini, Ya Tuhan? Ternyata di balik kesusahan yang dialami Dea masih banyak insan lain yang jauh lebih menderita.

***

Berkali-kali Dara dan Dea bertanya kepada Guru Kewarganegaraan yangbaru yaitu Bapak Ali, kenapa yang tertera dalam pasal 31 UUD 1945 tidak dimiliki pada seorang bocah bernama Minah itu?

***

Ujung-ujungnya, tak ada badan pmerintah satu pun yang meringankan penderitaan Minah ini. Menurut kabar burung yang Dara dan Dea terima akhir-akhir ini, Minah kembali sekolah. Ia masuk SMP dengan biaya emaknya yang suduah dioprasi Donor ginjal.

Meski hanya tinggal satu buah ginjal saja di tubuh Ibunya Minah, namun usia yang tak muda muali menggerogoti badan Ibunya Minah. Beliau sekarang sering sakit-sakitan. Penderitaan yan gtaka daujungnya, malah semakin bertambah.

Terus, kalau begini, darimana Minah dan Ibunya dapat uang lagi untuk biaya berobat?

0 komentar:

Posting Komentar