DEMOKRASI

Sabtu, 06 Februari 2010


A. Beberapa Pengertian dan Bentuk

Istilah Demokrasi istilah yang berasal dari bahasa Yunani, yakni berasal dari akar kata demos yang berarti rakyat dan kratos/kratien yang berarti kekuasaan/berkuasa. Sehingga kurang lebih demokrasi dapat diartikan sebagai ‘kekuasaan/kedaulatan yang terletak di tangan rakyat’. Istilah demokrasi sendiri memiliki berbagai macam bentuk. Ada yang dinamakan demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demorasi terpimpin, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, dan demokrasi nasional. Sementara di Indonesia juga dikenal dengan nama demokrasi pancasila. Semua konsep tersebut memakai istilah demorasi yang menurut asalnya bermakna “rakyat yang berkuasa” atau “gaverment or rule by the people”.

Menurut tafsir R. Kranenburg perkataan demokrasi yang terbentuk dari dua istilah yunani tersebut, maknanya adalah cara memrintah oleh rakyat. Di tinjau lebih dalam lagi tentang makna demokrasi ini ialah cara pemerintahan yang dilakukan oleh dan atas nama seorang diri (misalnya oleh seorang raja yang berkuasa mutlak). Selain itu, termasuk dalam pengertian demokrasi ialah cara pemerintahan Negara yang disebut “autocratie” atau ”oligarchie”, yakni pemerintahan yang dilakukan oleh segolongan kecil manusia saja, yakni menganggap dirinya sendiri tercangkup dan berhak untuk mengambil dan melakukan segala kekuasaan di atas segenap rakyat.

Menurut M. Durverger demokrasi adalah termasuk cara pemerintahan dimana golongan yang memerintah dan golongan yang diperintah itu adalah sama dan tidak terpisah-pisah. Artinya satu system pemerintahan Negara, yang dalam pokoknya, semua orang (rakyat) memiliki hak yang sama untuk memerintah dan juga untuk diperintah.

Di antara sekian banyak aliran pemikiran yang dinamakan demokrasi, ada dua kelompok aliran yang paling penting, yaitu:

1. Demokrasi Konstitusional

Ciri khas dari demokrasi konstitusional adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan melakukan bertindak sewenang-wengan terhadap warga negaranya. Kekuasaan Negara dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan penyalahgunaan diperkecil, yaitu dengan cara menyerahkan kepada beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan kekuasaan pemerintahan dalam satu tangan atau satu badan. Perumusan yuridis dari prinsip-prinsip itu dikenal dengan Rechsstaat (Negara Hukum) dan Rule of Law.

2. Demokrasi Komunis

Demokrasi yang mendasarkan dirinya pada komunisme mencita-citakan pemerintah yang tidak boleh dibatasi kekuasaannya (machsstaat) dan yang bersifat totaliter. Negara dianggap sebagai suatu alat pemaksa yang akhirnya akan lenyap sendiri dengan munculnya masyarakat komunis. Atau dengan kata lain, Negara hanya merupakan suatu lembaga transisi yang dipakai dalam perjuangan untuk menindas lawan-lawan dengan kekerasan.

Tidak dapat dibantah bahwa demokrasi merupakan asas dan system yang paling baik di dalam system politik dan ketatanegaraan. Khazanah pemikiran dan preformasi tentang ini, yaitu demorasi adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan lainnya. Sebuah laporan studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO, pada awal tahun 1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satu tanggapan yang menolak “demokrasi” sebagai landasan dan system yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik dan organisasi modern.

Masalah yang belum sampai pada titik temu di sekitar perdebatan tentang demokrasi itu adalah bagaimana mengimplementasikan demokrasi itu di dalam praktik. Berbagai Negara telah menentukan jalurnya sendiri-sendiri, yang tidak sedikit diantaranya justru memperaktikan cara-cara atau mengambil jalur yang sangat tidak demokratis, kendati di atas kertas menyebutkan “demokrasi” sebagai asasnya yang fundamental. Oleh karena itu, studi tentang politik telah sampai pada tahap identifikasi bahwa fenomena demokrasi itu dapat dibedakan atas demokrasi normatif (essence) dan demokrsi empirik (preformance). Demokrasi normatif menyangkut rangkuman gagasan-gagasan atau idealisme tentang demokrasi yang terletak di dalam alam filsafat, sedangkan demokrasi empirik adalah pelaksanaannya di lapangan. Pada kenyataanya hal yang banyak terjadi adalah antara demokrasi empirik tidak selalu paralel dengan gagasan normatifnya.

B. Sistem dan Praktik Demokrasi Di Indonesia

Di Indonesia, atas dasar demokratis, rechsstaat dikatakan sebagai “ Negara kepercayaan timbal balik (de staat van het wederzijds vertrowen)”, yaitu kepercayaan dari rakyat pendukungnya bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan disalahgunakan dan kepercayaan dari penguasa bahwa dalam batas kekuasaanya dia mengharapkan kepatuhan dari rakyat pendukungnya. Untuk mendukung hal tersebut maka terbentuklah sebuah kesepakatan bersama berupa:

a. adanya undang-undang dasar atau konstitusiyang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.

b. Adanya pembagian kekuasaan Negara, yang meliputi: kekuasaan pembuatan undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas yang tidak hanya menangani sengketa antara individu rakyat, tetapi juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah yang mendasarkan tindakannya atas undang-undang (wetmatig betuur).

c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.

Praktik kehidupan demokratis, sebagaimana banyak terjadi di Negara-negara yang sedang berkembang,-- termasuk Indonesia—sering terkecoh pada format politik yang kelihatannya demokratis, tetapi dalam praktiknya berwujud otoriter. Hal ini terlihat ketika UUD 1945 ditetapkan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan bertekat untuk melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Akan tetapi, pelaksanaannya belum dapat terwujud pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) karena pemerintahan (Orde Lama) waktu itu cenderung memusatkan kekuasaannya pada presiden saja, yang akhirnya Indonesia, pada akhir 1965 berada di ambang kehancuran baik secara politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan keamanan.

Hal serupa terjadi pada masa rezim Soeharto (Orde Baru), yang ditandai dengan pemusatan kekuasaan pada diri Presiden, telah membawa bangsa Indonesia pada diri presiden, membawa bangsa Indonesia di ambang krisis multi dimensi dan akhirnya orde baru jatuh pada tahun 1998. sejak jatuhnya rezim orde baru tuntutan yang muncul ketika itu adalah otonomi daerah segera direalisasikan atau pilihan arah perubahan bentuk Negara federal. Akibatnya derasnya arus tuntutan daerah terhadap pusat itulah akhirnya dikeluarkan UU No. 22 tahun 1999 yang lebih menekankan pada otonomi luas.

Setiap tahap pergantian rezim selalu mengandung harapan-harapan baru berupa kehidupan yang lebih demokratis dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Jatuhnya Orde Lama yang digantikan Orde baru, yang ditandai dengan ikut sertanya para teknokrat dari dunia akademis di pemerintahan, pada mulanya membawa angina segar dan harapan baru dalam kehidupan politik di Indonesia. Namun akibat inkonsistensi dalam sikap dan pemikiran dalam menegakan nilai-nilai dasar demokrasi, pada akhinya orde baru terseret dalam praktik-pragtikpemerintahan pragmatis dan otoriter. Akibatnya hokum ditundukan untuk mengabdi kepada sistem kekuasaan represif.

Referensi:

Huda, Nikmatul.2007. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers

Demokrasi dan Kompeksitas, tulisan Budi Hardiman dalam SKH Kompas edisi; Rabu 28 November 2007

0 komentar:

Posting Komentar