Mencari Keadilan Sejati

Sabtu, 06 Februari 2010


Dewi alam bercahaya sempurna.

Angin berderai-derai, menyisir buku kuduk.

Tubuh ini terhenyak dalam kedinginan.

Ku menanti sebuah jawaban.

Duhai sutra mengalun lembut,

Sampaikan pertanyaanku pada mahkluk langit nan anggun.

***

“Tahu…tahu, yang tahu, yang tahu, asin-asin,”

“Kacang…., kacang manis, Om. Lima ratusan,”

“Aqua, sprit, dan teh sosro, masih dingin…,seger…seger. Mas teh, Mas?” semuanya membisu, seakan-akan tak peduli bunyi apa para pedagang asongan itu. Paling-paling hanya beberapa saja yang membeli, bisa dihitung dengan jari.

“Mana sih? Kok gak nongol-nongol juga tuh bocah. Biasanya, bus ini yang menjadi langganannya untuk ngamen. Keburu basi, nih.”

Jam tangan menunjukkan pukul 13.00 siang lebih dikit. Sudah seperempat jam sejak pukul 12.45, tubuh ini duduk manis dalam bus. Akhirnya bus pun berangkat.

Huh, desakan demi desakan kurasakan dari para penumpang. Namun yang lebih penting…

Jreng-jreng-jreng….. Wakil rakyat seharusnya merakyat……..

Jangan tidur waktu sidang soal rakyat……..

Wakil rakyat seharusnya merakyat……..

Jangan tidur waktu sidang soal rakyat……..

Lagu Iwan Fals itu terasa menghibur hati ini yang ikut-ikutan sumpek. Sayangnya, suara yang seharusnya merdu itu dinyanyikan oleh bocah yang suaranya cempreng. Ups, tunggu. Sepertinya aku kenal dengan suara itu.

“Ooom seikhlasnya, Ooom.” Suara itu semakin mendekat dan mendekat.

“Sssst.” Tak kusadari, tanganku menarik bocah yang kutunggu-tunggu.

“Duduk sini, gih.” Kupersilahlakan ia duduk di sampingku.

Kutatapi kedua bola matanya yang sipit. Aku masukkan uang ke dalam kantong kopiko-nya. Tak sadar mataku tertuju pada kaki kanannya yang lumpuh karena korban tabrak lari. Walaupun begitu, yang tampak dari seorang Amir bukanlah sebuah penyesalan atau pun keputusasaan atas semua penderitaan ini, namun ia justru bersyukur karena masih ada kaki satunya lagi. Pernah ia berkata, ”Gak papa kok Mas, yang penting kan masih ada kaki satu lagi.” Luar biasa…….

“Wuih, banyak banget uangnya. Bener, nih buat aku?” bocah kecil itu bersorak-sorak senang. Hati ini pun ikut senang. Kuseret tangannya agar dia mau duduk.

“Mas Ahmad, aku kan harus turun. Kalo gak, nanti habis dimarahi Pak Kenek,” kata anak yang kira-kira berumur dua belas tahunan itu khawatir. “Sudah, gak usah khawatir, beres bos, aku yang tanggung, deh,”

“Bagaimana, Mir. Apakah kamu sudah menemui saksi, ataupun apaplah yang ngebuktiin kalo kamu nggak salah,” tanyaku serius.

Ia hanya geleng-geleng kepala. Wajahnya kembali murung, pucat, kusut, bak baju basah yang baru diperas. Aku merasa sangat payah sekali. Aku yang sempurna jasmani dan punya akal gini sering ngeluh, malas-malasan, apalagi bersyukur, ingat sama anugerah Allah swt. saja tak pernah terlintas dalam benakku. Namun, bagaimana dengan Amir? Ya Allah, subhanalah, ia hanya mempunyai satu kaki dan satu tongkat untuk menyangga tubuhnya. Tak sampai di situ, musibah yang lebih memilukan lagi baginya adalah ketika harus ditinggalkan oleh sang Ibu tercinta untuk selamanya, lantaran serangan jantung. Semenjak itulah ia juga harus berpisah dengan sang Ayah. Ayahnya merantau mencari kerja. Namun, hinggga kini, Ayahnya masih terus mengirimi uang padanya sebulan sekali. Sebelum Ayahnya pergi, Amir diberitahu, bahwa ia akan hidup bersama Nenek Lastri.

Pernah suatu saat Amir mengirim surat kepada sang Ayah, bahwasannya ia sangat merindukan wajah Ayah sekarang dan kangen akan pelukan Ayah. Namun, ayahnya justru menolak seraya berkata, ”Suatu saat nanti mereka pasti akan dibertemukan oleh waktu.”

“Trus……? Berarti kamu menerima hukumannya nanti?” tanyaku mengintrogasi.

“Mungkin itu Mas, yang memang aku dapatkan,” jawabnya polos.

“Hus, jangan berpikiran cetek kamu. Jika dipenjara seminggu, dua minggu, sih gak masalah, bakal aku belikan fried chicken nanti setiap harinya kalo kamu mau. Tapi ini masalahnya besar. Kamu dituduh suatu masalah yang besar. Bisa berpuluh-puluh tahun kamu di penjara,” kataku dengan nada memarahinya. Amir hanya tertunduk lesu. Tatapanya kosong, tak mengerti apa-apa.

“Maaf, Mir…,”

Otakku berfikir…, terus berputar bagaimana caranya menyelamatkjan Amir dari terali besi.

Sungguh tego-menolo orang-orang yang telah membobol uang bank itu. Terus tanpa merasa bersalah mengasihkan kantong wadah uang bobolan itu ke tangan Amir. Ia tak tahu apa-apa. Yang ia lihat, sekelompok pemuda berlari kencang hingga bayangannya hilang di tikungan. Pada saat itulah, dirinya hampir menjadi bulanan massa. Untung saja Pak Polisi datang dan langsung mengamankan Amir. Atas penjelasan panjang lebar dari Pak Polisi, Amir pun kini mengerti. Keadaan yang sebenarnya adalah ia dinyatakan sebagai pelaku utama pembobolan bank daerah sebesar 1,5 milyar. Wow, angka yang tak main-main.

“Turun, yuk,” ajakku.

“Mau ke mana sih, Mas? Tumben kok ngajak aku jalan-jalan,”

“Sudah, ikut saja,”

Huh, lumayan, di luar bisa bebas menghirup udara bebas. Sumpek sih, gak terlalu di dalam bus. Namun, sedari tadi di perjalanan banyak penumpang yang naik-turun.

Tiba-tiba Amir menyeret tanganku dengan wajah pucat pasi. Ada tanda ketakutan tersirat di balik wajahnya yang bundar. Dengan alat penyangga tubuhnya itu ia ingin lari.

“Heh, Mir, kok lari? Sini aku jelasin, kita nih akan mencari keadilan buat menyelamatkan kamu di kantor polisi ini. Ayahku punya kenalan di sana, namanya Pak Harjo. Gak ada salahnya kan kita mencoba?” jelasku pada Amir.

“Mas, aku nggak mau. Yang aku tahu dari Pak Polisi Mas, mereka itu ganas seperti singa. Kemarin aku saja dituduh yang enggak-enggak. Udah mas, udah…,” ucap Amir khawatir.

“Ooooo” aku ber-ooo panjang. Lalu kubalas dengan seulas senyuman, sekiranya ia mengerti. “Mir, asalkan kita berusaha semaksimal mungkin, sekuat tenaga yang kita miliki, insya Allah, Allah pun akan memberikan jalan petunjuk menuju keadilan bagi kita. Ingat, Allah itu Mahaadil dan Maha Penyayang pada setiap makhluknya, tul gak?” Wuih, tumben aku bisa lancar ceramah gini, habis kesamber malaikat dari mana sih tadi? Amir hanya tersenyum, menampakkan giginya yang gigis. Hmmm, aku pun menjadi lebih senang, ia bisa mengerti maksudku.

***

Ada yang bisa kami bantu, Dik,” sapa Pak Polisi yang sedang berjaga-jaga di depan kantior Polisi sekitar (Polsek).

“Eee, Maaf Pak, kami ingin bertemu dengan Pak Harja, ada Pak?” kutengok di belakang. Amir masih membuntut dibelakang, raut wajahnya masih menandakan ketakutan.

Pak polisi itu langsung menunjukkan kami, mungkin ke tempat orang yang kami maksud tadi. Di sepanjang lereng kantor polisi, aku melihat orang-orang yang ada di balik jeruji besi. Tergambar betapa ganasnya kehidupan di dalamnya. Andaikan saja Amir…, hah jangan sampai.

“Masuk!” terdengar suara dari dalam.

“Selamat siang, Pak. Ada yang ingin bertemu dengan Bapak,” kata Pak Polisi itu.

“Oooo, Nak Ahmad…, mau apa, Nak. Bagaimana kabar ayah dan ibu? Baik-baik saja kan? Silahkan masuk,” sambut Pak Polisi yang bernama Pak Harjo. Walaupun orangnya mempunmyai berengos dan jenggot tebal, tapi kenyataannya dia baik, kok. Tapi, ketika aku tengok ke belakang, lagi-lagi Amir masih merinding alias takut.

Kujelaskan semuanya panjang lebar, sejak awal sampai akhir, dari A-Z maksud kedatangan kami.

“Mohonlah, Pak. Dia ini kan masih kecil, Pak. Sewaktu SD-nya, Dia tidak kecipratan isi UUD `45 tentang Pendidikan dari pasal satu sampai lima. Dia ini korban ketelantaran negara, Pak.” Semoga saja dengan permohonanku ini akan membuahkan hasil, Ya Allah, Yang Mahaadil.

Namun, akhirnya Pak Harjo berkata, ”Maaf, Nak Ahmad, kita ini sekarang sedang hidup di negara hukum. Sejak bangsa ini merdeka pun, hukumlah yang menjadi asas kita bersama sampai saat ini. Ya, mau tak mau, kita harus mematuhi peraturan hukum yang ada. Jika ada bukti atau saksi yang bisa menguatkan bahwa nak Amir ini tidak bersalah, mungkin saya bisa membantu untuk membebaskan nak Amir,” jelas Pak Harjo.

Hasilnya nihil. Kami pun permisi.

Kasihan Amir.

“Mir, hadapi dengan tegar, ya. Berdoalah pada Allah Yang Maha Segalanmya. Jangan ragu-ragu atas kekuasaannya. Sekali lagi maaf, Mir.”

***

Waktu terus berlau, tak pandang bulu, orang sepenting apakah dan segenting apakah kondisinya, waktu tetaplah menjadi suatu hal yang kodrat.

Kini, sudah lama aku tak bertemu si anak yang sehari-harinya bermandikan peluh keringat di terminal guna mencari nafkah bagi dirinya dan neneknya. Kudatangi berulang-ulang terminal itu, tapi sama saja. Batang hidungnya tak kelihatan di sana.

“Oh, ya bagaimana jika kudatani rumahnya. Mungkin dia masih trauma sama Pak polisi, he..he..he…” batinku.

Sesampainya di rumah Amir, tampak nenek Amir termenung di pekarangan rumah. wajahnya bermasam durja, sepertinya ia sedang merenungkan sesuatu yang kini membebani hidupnya.

“Asslamualaikum. Amirnya ada, Nek,” salamku.

“Oooh, Nak Ahmad, silahkan duduk sini,” kata nenek sambil mengusap kedua matanya. Ia menangis.

“Nak Ahmad belum tahu tho kabar tentang Amir sekarang?” tanya nenek padaku.

“Belum, nek,” jawabku. Kiranya jawabanku ini bisa membuat nenek menjelaskan apa yang telah terjadi pada Amir.

“Amir sudah tak disini lagi. Ia kini tinggal bersama Pak Polisi,”

“Artinya, ia dipenjara…………..,” tangisku pecah. Tak kusangka.

Bagiku, sungguh tega ‘manusia-manusia‘ itu, memasukkan Amir ke penjara.

Sekarang, bagaimana perasaan hati nenek Amir dan harus dengan cara apa dia mendapatkan penghasilan? Lebih dari itu, apakah hukum di negara ini layaknya orang yang bodoh yang mau disuruh-suruh ini-itu, dipermainkan?

Inikah keadilan………?

Dalam kengkangan, aku bingung, mencari keadilan yang sejati.

MATSANUKO, 23.00

0 komentar:

Posting Komentar