Pro Kontra MBS: Sebaiknya Belajar dari Pengalaman

Sabtu, 06 Februari 2010



SEBENARNYA saya tidak bermaksud untuk secara terus-menerus berpolemik tentang manajemen berbasis sekolah (MBS) dengan Sutedjo. Akan tetapi, karena Sutedjo menanggapi ulang tanggapan saya tentang MBS (Kompas, 28/9/2001)-dan tanggapan Sutedjo perlu "diluruskan"-maka saya mencoba untuk menanggapinya kembali. Tujuannya bukan untuk "berdebat kusir", tetapi ingin saling membagi pengalaman dan agar kita memahami bahwa pada dasarnya tidak ada model manajemen pendidikan yang paling baik di antara model manajemen pendidikan yang ada.

Yang sangat saya khawatirkan dari pola pikir Sutedjo adalah karena dia selalu meminta kita untuk menyimak enam
tahapan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) yang diisyaratkan Depdiknas (Kompas, 31/8/2001 dan 28/9/2001). Jika Sutedjo "memaksakan kehendak" agar MPMBS dilaksanakan sesuai dengan keenam tahapan itu, maka pertanyaannya adalah apakah kalau tidak melaksanakan keenam tahapan tadi lalu sekolah tidak ber-MBS ria? Dan, kalau saya hanya mencantumkan tiga/empat pilar MBS, lantas saya dianggap mereduksi sebuah pemikiran?

***

AMBRUKNYA tatanan kehidupan kita selama ini, sebagaimana sering dirasakan oleh setiap orang, adalah karena kita terbelenggu dalam pola keseragaman yang mengungkung kreativitas kita. Selama sekitar 32 tahun pola hidup kita-termasuk pola pendidikannya-harus mengikuti satu komando atau satu aturan dari pusat. Tidak ada seorang pun yang boleh berbeda. Akibatnya, tertimbunlah stigma (luka psikologis) yang sewaktu-waktu dapat menjadi bom waktu. Dan, benar, begitu era reformasi lahir, keseragaman itu kita tuding menjadi biang keladi segala kehancuran sistemik yang ada dalam semua aspek kehidupan.

Salah satu bentuk yang paling menonjol dari kesalahan masa lalu adalah tidak tersedianya wadah untuk berbeda pendapat, untuk berbeda warna, dan untuk beragam. Semuanya harus sama, satu, dan seragam. Jika tidak, maka kita akan dianggap "tidak loyal", "pembangkang" atau "orang-orang yang harus disingkirkan". Pusat sangat dominan, sehingga daerah hanya menjadi "pelaksana" saja.

Di era otonomi daerah yang berimplikasi kepada otonomi pendidikan dan otonomi sekolah, sudah sepantasnya kalau kita memberikan "kebebasan" kepada sekolah untuk berimprovisasi dan melaksanakan MBS sesuai kemampuannya. Tidak harus menunggu sampai bisa melaksanakan keenam langkah sebagaimana yang ditegaskan Sutedjo.

Oleh karena itu, jika saya selalu mengatakan bahwa hanya ada tiga (sekarang berkembang menjadi empat) pilar MBS sebagaimana dikembangkan pada Kegiatan Rintisan MBS, maka sebenarnya tidak ada niatan untuk mereduksi pemikiran dan langkah yang berderet-deret itu. Yang penting adalah bagaimana suatu sekolah dapat mengembangkan (1) transparansi manajemen sekolah, (2) pembelajaran aktif dan efektif, (3) pembelajaran yang menyenangkan, dan (4) peran serta masyarakat.

Dalam Kegiatan Rintisan Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di Mojokerto dan Probolinggo untuk Provinsi Jawa Timur, MBS tidak harus dilaksanakan dengan cara yang serta merta. Yang penting adalah ada upaya ke arah yang lebih positif sesuai dengan model MBS. Semua itu bertujuan mengarah kepada upaya peningkatan mutu pendidikan, khususnya di SD.

Nah, jika Sutedjo memang bergerak pada jenjang SMU, maka silakan saja. Yang penting adalah sama-sama memiliki visi dan misi yang jelas ke arah peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini, maka saya sangat sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Sinung D Kristanto, Kepala Kantor Unicef Surabaya, yang mengatakan bahwa pemisahan antara pembelajaran aktif dan pembelajaran menyenangkan semata-mata karena perbedaan aksentuasinya. Unicef lebih menohok kepada joyful learning, sebab yang penting adalah bagaimana anak-anak bisa belajar dengan senang. Selain anak-anak, guru dan orangtua/wali murid pun harus senang. Dengan demikian, maka hak anak-anak untuk memperoleh pendidikan benar-benar terwujud. Dan, pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan yang merindukan anak, bukan yang memenjarakan kreativitas anak.

Untuk mencapai sasaran MBS, maka peran guru, kepala sekolah, pengurus BP3, wali murid, dan para stakeholder yang kemudian tergabung dalam Dewan Sekolah hendaknya benar-benar dapat duduk bersama, berembuk bersama, menentukan visi dan misi pendidikan ke depan. Ini tidak berarti akan menghilangkan semua peran pusat maupun provinsi. Sebab, di samping ada desentralisasi, masih berlaku dekonsentrasi.

***

JIKA kita menyadari bahwa sebenarnya MBS hanyalah salah satu model manajemen yang dikembangkan di Indonesia sekarang (dengan segala kekuatan dan kelemahannya), maka semestinya kita berupaya untuk mencapai hasil sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Kita tidak perlu mengharuskan orang lain melakukan sesuatu di
luar batas kemampuannya. Apalagi kita tidak bisa menjamin bahwa sebuah model manajemen yang kini kita terapkan, akan selamanya dipakai. Sebab, setiap inovasi akan disusul oleh inovasi berikutnya.

(Achmad Sapari, pengawas TK/SD di Probolinggo )

0 komentar:

Posting Komentar