Oleh: Mahmuddin Ridlo
“Gooooooooool…!” Jerit Andi dengan suaranya yang memekakan telinga. Ia menyambut kawannya, Fadli yang telah berhasil memasukan bola ke gawang Didi.
“Gimana sih kamu Di? Bisa nangkap bola nggak? Kalo gak bisa ditabrak aja,” olok Gatot. Orang yang dimarahi itu hanya diam, dia sendiri pun juga tidak setuju dengan permainan Gatot yang egois sendiri.
Dua tim sepak bola sedang bertanding dengan serunya. Sepanjang jalanya pertandingan, kedua tim tidak mau mengalah, bahkan sering terjadi pelangagaran, karena kedua tim yang merasa dirugikan dan tidak terima. Bola digiring, diumpan, dan ditendang, begitu seterusnya.
“Priiit…priiit…priiiiiit…,” Anton meniupkan peluit panjang tanda pertandingan usai.
Bola pun ditendang keluar lapangan. Fadli, Andi, Anang, dan teman-temanya hendak berjabat tangan Gatot dan teman-temannya.
“Hah, waktu habis!” kesal Gatot. Dalam batinnya ada perasaan tidak terima atas nasib timnya yang kalah tipis dari timnya Fadli, 4-3.
“Sudah Tot, terima saja kekalahan kita, mungkin menang bukan nasib kita saat ini,” kata Indra memberi nasihat pada Gatot.
Gatot semakin gusar sendiri. Dalam permainan itu, Ia berusaha tampil ngotot sekali. Skil individualitas ia tampilkan untuk menjadi jenderal lapangan. Namun, sayangnya Gatot kurang mempunyai rasa kerja sama pada timnya.
“Cuih, awas kamu, ini belum berakhir, masih ada leg kedua,” kata Gatot. Fadli dan teman-temanya tidak tahu apa yang dimaksud dengan perkataan Gatot tadi.
Mereka langsung pergi meninggalkan lapangan, sesaat hilang ditelan pepohonan rindang yang besar. Disekitar lapangan.
***
Selamanya kekalahan atas timn yang selalu menang dalam setiap pertandingan, tidak akan pernah dilupakan oleh pemin-pemainya. Bagi Gatot, Kekalahan harus dibalas dengan kemenangan yang mutlak. Pertandingan demi pertandingan yang pernah dijalani Singa Hutan, julukan kesebelasan Gatot tak pernah kalah, kalaupun seri, mereka akan membalas dengan angka mutlak diperjumpaan yang akan datang.
“Mereka harus diberi pelajaran,” putus Gatot.
“Siapa, Tot,” tanya Didi.
“Fadli dan anak buahnya. Tunggu saja,” awas Gatot.
Gatot pergi menuju kelasnya. Sepertinya ia menulis sesuatu dan menggambar tanda menantang di atas kertas sobekan itu.
Dia terus berjalan menyusuri koridor sekolah yang tampak ramai. Tangannya mengepal, mukanya merah, dan sorot matanya tajam, bak petinju memasuki ring tinju.
Suasana kelas Fadli sepi, biasanya mereka istirahat langsung ke kantin sekolah. Gatot mendobrak meja Fadli hingga berantarakan.
Selesai sudah siasat yang telah Gatot susun. Kini, tinggal menungu tindakan Fadli, di
***
Selesai membaca
Sementara itu, Gatot terus berlatih, siang-sore, panas-hujan tidak Gatot hiraukan. Namun, tibas-tiba Gatot sakit, karena latihan sepak bolanya yang tidak diatur.
Tibalah hari yang dinantikan. Kabar burung heboh menyelimuti seisi sekolah. Sejak kemarin Gatot tidak masuk, ternyata ia sakit demam dan meriang.
“Teman-teman yuk kita jenguk Gatot saja. Sepak bolanya batal,” ajak Fadli pada teman-temannya.
“Lho, pertandingannya
“Sudahlah, sekarang ikut aku saja ke rumah Gatot, yuk,” ajak Fadli sekali lagi. Mereka tahu apa yang dimaksud Fadli adalah baik.
Di rumah
Betapa kaget raut wajah Gatot mengetahui siapa yang datang menjengunknya. Gatot terharu dan meminta maaf atas kelakuannya selama ini dan tentang
Mereka tenggelam dalam canda. Akhirnya Fadli dan teman-temannya berjabat tangan dengan Gatot sebagai tanda persahabatan. (Penulis, murid MTs Nurul Ummah, Kotagede,
0 komentar:
Posting Komentar